Kamis, 16 September 2010

tumbuhan nipah

STUDI ETNOBOTANI NIPAH (Nypa fruticans Wurmb.)


Afnidar

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang studi etnobotani nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di Kabupaten Aceh Barat yang berlangsung di empat kecamatan yaitu Kecamatan Meureubo, Johan Pahlawan, Samatiga dan Arongan Lambalek dari bulan Desember 2007 sampai bulan Mei 2008. Metode yang digunakan adalah metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dan survei eksploratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga organ tumbuhan nipah yang dimanfaatkan yaitu organ daun, bunga dan buah. Organ tumbuhan nipah yang paling banyak digunakan adalah organ daun dan yang paling sedikit digunakan adalah organ bunga. Tumbuhan nipah yang dimanfaatkan sebagai pembungkus tembakau sebanyak 98% responden, kerajinan tangan sebanyak 68% responden, sumber makanan sebanyak 25% responden, dan obat-obatan sebanyak 3% responden. Hasil kerajinan tangan berupa rengkan, sangkak ayam dan sapu, sedangkan sumber makanan yang dihasilkan berupa buah segar, kolang-kaling dan manisan serta obat-obatan berupa obat sariawan, obat batuk dan obat batu karang.
Kata kunci : Etnobotani, Nypa fruticans Wurmb., Kabupaten Aceh Barat.

Abstract. This research on ethnobotanical study of nipah (Nypa fruticans Wurmb.) in West Aceh District was carried out from December 2007 until May 2008.There are four subdistricts for conductig this research, i.e: Meureubo, Johan Pahlawan, Samatiga, and Arongan Lambalek. PRA (Participatory Rural Appraisal) and explorative survey were used to collect the data. The result shows that there are three organs of nipah are being used by the local people of West Aceh District, i.e: leaf, flower and fruit. Leaf is the most organ that beig used while flower is the least. 98% respondent use nipah for tabacco wrapper. 68% respondent use nipah for making handicraft, such as, rengkan, sangkak and broom. There was only 3% respondent use nipah as herbal medicines for sariawan, cough and kidney diseases. In addition, there is 25% respondent use nipah as fresh food such as kolang-kaling and sweets.
Key words : Ethnobotany, Nypa fruticans Wurmb., West Aceh District.



I. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan berbagai jenis palem, diperkirakan ada sekitar 460 jenis palem yang termasuk dalam 35 genus dan tersebar di wilayah Indonesia. Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah mengingat masih luasnya daerah yang belum diinventarisasi [1].

Palem termasuk tumbuhan yang penggunaannya sangat luas. Buahnya digunakan sebagai bahan pangan, obat-obatan dan minyak. Batang dan tangkai daunnya digunakan dalam pembuatan perabotan, bangunan rumah dan perahu. Daunnya digunakan sebagai atap, tikar dan pakaian sedangkan ijuknya digunakan untuk membuat sapu [2].
Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) adalah sejenis palem yang daunnya dikeringkan sebagai bahan atap, dinding dan berbagai anyaman. Daunnya yang muda dapat dijadikan pembungkus tembakau. Nipah dapat pula disadap niranya, nira nipah dapat pula dijadikan gula, pucuk nipah dan buah yang muda dapat dimakan [3].

Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam memanfaatkan tumbuhan nipah secara tradisional dalam kehidupannya. Demikian pula yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat, yang ditandai dengan adanya barang yang dihasilkan dari daun nipah seperti pembungkus tembakau untuk rokok tradisional. Informasi mengenai kegunaan lainnya dari tumbuhan nipah adalah sebagai obat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kegunaan dari tumbuhan nipah yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat.

II. METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di empat kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Barat yaitu di Kecamatan Meureubo, Johan Pahlawan, Samatiga dan Arongan Lambalek pada bulan Desember 2007 sampai Mei 2008.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode PRA (Participatory Rural Appraisal) untuk wawancara dan metode survei eksploratif untuk menghitung kerapatan jenis dari tumbuhan nipah. Metode PRA yaitu proses pengkajian yang berorientasi pada keterlibatan dan peran masyarakat secara aktif dalam penelitian melalui wawancara semi struktural yang berpedoman pada sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan [4].

Parameter Penelitian
1. Bagian-bagian tumbuhan nipah yang digunakan.
2. Jenis barang yang dihasilkan dari tumbuhan nipah.
3. Proses pembuatan jenis barang yang dihasilkan dari tumbuhan nipah.
4. Kegunaan tumbuhan nipah sebagai obat.
5. Kerapatan tumbuhan nipah.

Prosedur Kerja
1. Etnobotani tumbuhan nipah
Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling (cuplikan disengaja) di 4 kecamatan yang terpilih di Kabupaten Aceh Barat yaitu Kecamatan Samatiga, Arongan Lambalek, Johan Pahlawan, dan Meureubo. Setiap kecamatan dipilih sebanyak 50% dari seluruh desa yang memiliki lahan nipah. Setiap desa yang terpilih dari masing-masing kecamatan dipilih 4 kelompok responden untuk dilakukan wawancara yaitu:
a. Kepala desa
b. 1 orang tokoh masyarakat atau ketua adat
c. 3 orang masyarakat perajin nipah
d. 5 orang petani nipah

2. Kerapatan jenis tumbuhan nipah
Untuk mendapatkan kerapatan tumbuhan nipah di setiap desa yang terpilih ditetapkan petak kuadrat dengan ukuran panjang 10 m dan lebar 10 m sepanjang garis transek yang ditarik sepanjang lahan nipah. Petak kuadrat diletakkan di kiri dan di kanan pada garis transek secara selang seling. Jarak antar petak kuadrat pada garis transek sepanjang 10 m. Kemudian dihitung semua jumlah tumbuhan nipah yang terdapat dalam petak kudrat tersebut baik nipah dewasa maupun nipah muda. Nipah dewasa adalah tumbuhan yang telah memiliki organ generatif yaitu bunga, buah dan biji. Sedangkan nipah muda adalah tumbuhan yang memiliki organ vegetatif yaitu akar, batang dan daun.






Keterangan :
I, I dan III : Plot
L : Garis transek

Gambar 3.1 Peletakan plot pada areal pengamatan


Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan gambar. Sedangkan untuk kerapatan tumbuhan nipah dianalisis berdasarkan Michael (1981), dengan menghitung:
Ki =
Ki : Kerapatan jenis.
ni : Jumlah total individu satu jenis.
A : Luas total area petak kuadrat pengamatan.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Organ Tumbuhan Nipah yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis organ tumbuhan nipah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Barat. Ketiga organ tumbuhan nipah yang dimanfaatkan yaitu daun, bunga dan buah. Informasi yang diperoleh dari sejumlah 110 orang responden bahwa organ daun yang digunakan adalah pelepah, daun muda, helaian anak daun, dan tulang anak daun. Jumlah dan persentase responden yang menggunakan organ tumbuhan nipah pada setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1Persentase responden yang memanfaatkan organ-organ tumbuhan nipah di Kabupaten Aceh Barat


No.
Kecamatan Daun (%)
Bunga (%)
Buah (%) Total respoden
Pelepah Daun muda Helaian anak daun Tulang anak daun
1. Meureubo - 100 - 65 - 20 20
2. Johan Pahlawan -
100 - 62,5 - 22,5 40
3. Samatiga 2,5 97,5 5 70 2,5 27,5 40
4. Arongan Lambalek - 100 - 60 - 30 10
Total responden 110

Daun merupakan organ yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat. Bagian organ daun yang paling banyak digunakan adalah daun muda. Hal ini disebabkan karena hampir semua masyarakat pada empat kecamatan terpilih di Kabupaten Aceh Barat memanfaatkan daun muda. Bagian organ daun yang paling sedikit dimanfaatkan adalah pelepah, karena pelepah hanya dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Samatiga.

Pemanfaatan organ tumbuhan nipah paling banyak digunakan di Kecamatan Samatiga, hal ini disebabkan karena pada kecamatan tersebut mayarakat setempat memanfaatkan semua organ tumbuhan nipah seperti daun, bunga dan buah. Pemanfaatan tumbuhan nipah yang paling sedikit adalah di Kecamatan Arongan Lambalek karena di Kecamatan tersebut masyarakat hanya memanfaatkan dua organ tumbuhan nipah yaitu buah dan daun.

Tumbuhan nipah lebih banyak terdapat di Kecamatan Johan Pahlawan, tetapi masyarakat setempat hanya memanfaatkan dua organ tumbuhan nipah saja. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat hal ini disebabkan karena tumbuhan nipah yang tumbuh di Kecamatan Johan Pahlawan kurang baik untuk dimanfaatkan khususnya organ daun, karena daun yang lebih tebal dan pendek sehingga kurang baik untuk pembuatan pembungkus tembakau.

Tumbuhan nipah yang tumbuh di Kecamatan Meureubo dan Arongan Lambalek sangat sedikit. Informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa setelah bencana tsunami masyarakat setempat memanfaatkan lahan nipah sebagai lahan tambak, sehingga jumlah pertumbuhan tumbuhan nipah berkurang dan masyarakat setempat kurang memanfaatkan tumbuhan nipah.













2. Manfaat Tumbuhan Nipah yang Digunakan Oleh Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat

Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa organ tumbuhan nipah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Barat adalah sebagai pembungkus tembakau, kerajinan tangan, sumber makanan, dan obat-obatan. Kerajinan tangan yang dihasilkan berupa rengkan, sangkak ayam, dan sapu lantai. Pemanfaatan sebagai sumber makanan berupa buah mentah, kolang-kaling dan manisan kolang-kaling, sedangkan pemanfaatan sebagai obat-obatan berupa obat sariawan, obat batuk, dan obat batu karang.

Proses pemanfaatan dari tumbuhan nipah adalah sebagai berikut:

A. Pembungkus Tembakau
Daun nipah muda yang masih menguncup yang panjangnya bisa mencapai 3 - 4 m dimanfaatkan sebagai pembungkus tembakau untuk rokok tradisional (rukok ôn) (Gambar 4.1). Daun nipah muda tersebut dipotong pada bagian sirip daunnya sehingga menghasilkan helaian anak daun. Bagian permukaan atas permukaan atas daun dikelupas setipis mungkin. Bagian yang telah dikelupas, dijemur sampai kering membentuk gulungan-gulungan kecil. Setelah kering diikat dan dipotong kira-kira 8 - 10 cm. Pembungkus tembakau selain berguna sebagai pengganti rokok tembakau, masyarakat Kabupaten Aceh Barat juga memanfaatkannya untuk mengurangi rasa asin pada masakan.






Gambar 4.1 Pembungkus tembakau

Di Pulau Jawa daun pelindung buah jagung dan daun aren yang belum terbuka juga digunakan sebagai pembungkus tembakau [5]. Pembungkus tembakau merupakan hasil yang paling utama dari tumbuhan nipah, sehingga masyarakat Kabupaten Aceh Barat lebih banyak memanfaatkan tumbuhan nipah sebagai pembungkus tembakau.

B. Barang Kerajinan Tangan

1. Rengkan
Rengkan adalah sebuah wadah yang biasanya terbuat dari suatu organ tanaman yang dianyam, permukaan atasnya terbuka. Tulang anak daun (lidi) nipah yang masih muda diambil dari sisa daun pembuatan pembungkus tembakau dapat dimanfaatkan untuk rengkan (Gambar 4.2). Daun tersebut dibersihkan dan diambil bagian tulang anak daunnya. Untuk 1 buah rengkan dibutuhkan 175 lidi, lalu dibagi menjadi 7 bagian yang terdiri dari 25 lidi. Bagian-bagian lidi tersebut diletakkan menyilang membentuk lingkaran dan diikat dengan tali agar tidak lepas. Tujuh bagian tadi dipisahkan menjadi 5 bagian, lalu dianyam atau dililitkan membentuk lingkaran dan dirapikan. Bagian belakangnya dianyam lagi membentuk lingkaran sebagai tempat dudukannya. Sisanya dikucirkan dan dililitkan pada sisi dudukan rengkan.






Gambar 4.2 Rengkan
Masyarakat Kabupaten Aceh Barat menggunakan rengkan sebagai tempat untuk mengalasi kuali atau wajan masakan. Selain itu rengkan dapat juga digunakan sebagai tempat untuk meletakkan bumbu-bumbu masakan dan buah-buahan. Potensi dari pohon nipah dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan (anyaman), cara pembuatan anyaman sama halnya seperti bahan dari rotan yaitu keranjang, alas periuk, dan bakul kecil [6].

2. Sangkak ayam
Helaian anak daun nipah yang masih muda yang diambil dari sisa daun pembuat rokok dapat dimanfaatkan sebagai sangkak ayam (Gambar 4.3). Beberapa helaian anak daun yang telah diambil lalu dianyam secara selang-seling hingga membentuk persegi empat. Pada setiap ujungnya diikat dengan tali rafia agar tidak lepas. Masyarakat memanfaatkan sangkak ayam sebagai tempat untuk ayam bertelur mengerami telurnya.










Gambar 4.3 Sangkak ayam

3. Sapu lantai
Pelepah dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk membuat sapu lantai. Pelepah daun nipah ditumbuk sampai hancur dan dijemur sampai kering. Setelah kering pelepah tersebut diikat pada kayu sebagai tangkai atau gagangnya dengan menggunakan tali atau rotan. Pembuatan sapu dapat digunakan dari bahan serat sabuk kelapa [7]. Sapu juga dapat diperoleh dari serat ijuk aren yang mempunyai serat yang baik dan panjang [6].

C. Sumber Makanan

1. Buah segar
Buah nipah yang masih muda (Gambar 4.4) dan berwarna cokelat muda dapat dimakan secara mentah oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Buah nipah yang masih lunak atau muda dapat dimakan mentah. Masyarakat setempat juga menjelaskan bahwa memakan buah nipah dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan perut kembung [5].







Gambar 4.4 Buah nipah
2. Kolang-kaling dan manisan
Buah nipah berbentuk oval dan berwarna coklat. Buah nipah yang masih mengkal dapat dimanfaatkan sebagai kolang-kaling dan manisan. Kolang-kaling adalah salah satu makanan yang sering dijumpai pada bulan Ramadhan. Buah nipah yang masih mengkal dikupas kulitnya dan diambil bijinya lalu dibersihkan dan direndam dalam air. Buah nipah yang masih setengah masak dapat dimakan seperti halnya kolang-kaling dan diolah menjadi manisan. Kolang-kaling yang telah direbus dengan air, kemudian dimasak dengan gula [6]. Buah nipah yang setengah masak dapat dibuat manisan seperti halnya buah aren [5]. Kolang kaling juga dapat dihasilkan dari buah aren yang masih muda dan merupakan makanan yang banyak digemari oleh masyarakat [6].
D. Obat-Obatan

1. Obat sariawan
Tulang anak daun nipah yang masih muda dapat mengobati sariawan atau sakit tenggorokan dengan menggigit tulang daun tersebut dan menghisap airnya. Tulang-tulang daun adalah bagian daun yang berguna untuk memberi kekuatan pada daun dan sebagai berkas-berkas pembuluh yang berfungsi sebagai jalan untuk pengangkut zat-zat yang diambil tumbuhan dari tanah dan pengangkutan hasil asimilasi [8].

2. Obat batuk
Pucuk daun muda yang masih menguncup dapat berguna sebagai obat batuk. Pucuk daun tersebut dimemarkan dan ditumbuk lalu diperas airnya, kemudian air perasan tersebut dicampur dengan madu dan diminum. Daun merupakan tempat pengolahan zat organik dengan bantuan cahaya matahari sehingga di dalam daun terdapat zat-zat kimia yang berkhasiat sebagai obat [8].

3. Obat batu karang
Bunga nipah (Gambar 4.5) merupakan salah satu organ tumbuhan nipah yang dapat mengobati penyakit batu karang. Tetapi tidak ada informasi yang jelas tentang cara meramu bunga nipah sebagai obat batu karang.















Gambar 4.5 Bunga nipah
3. Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat dari Tumbuhan Nipah

Berdasarkan hasil wawancara dengan 110 responden yang terdiri dari 11 orang kepala desa, 11 orang ketua adat, 33 orang perajin tumbuhan nipah, dan 55 orang petani nipah, dengan usia responden berkisar antara 19 sampai 59 tahun. Informasi yang diperoleh bahwa responden lebih banyak mengetahui pemanfaatan dari tumbuhan nipah sebagai pembungkus tembakau dari pada pemanfaatannya sebagai obat-obatan. Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat hanya sedikit yang mengetahui manfaat tumbuhan nipah sebagai sumber makanan dan obat-obatan, dan belum ada masyarakat setempat yang mengetahui tentang pemanfaatan tumbuhan nipah dari segi budaya (Gambar 4.6).












Gambar 4.6 Persentase responden yang memanfaatankan tumbuhan nipah di Kabupaten Aceh Barat.

Masyarakat Kabupaten Aceh Barat lebih banyak mengetahui kegunaan tumbuhan nipah sebagai pembungkus tembakau sebanyak 98%. Hal ini disebabkan karena masyarakat setempat lebih banyak mengetahui cara pemanfaatan salah satu bagian organ tumbuhan nipah sebagai pembungkus tembakau. Masyarakat yang mengetahui pemanfaatan tumbuhan nipah sebagai obat-obatan hanya berkisar 3%. Hal ini disebabkan karena masyarakat setempat masih kurang mengetahui pemanfaatan tumbuhan nipah sebagai obat-obatan. Hilangnya pengetahuan tradisional tentang tumbuhan yang berkhasiat obat disebabkan masyarakat sudah mengandalkan obat-obatan modern sehingga pengobatan tradisional kurang dimanfaatkan lagi [9].

Informasi yang diperoleh tentang pemanfaatan organ tumbuhan nipah oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat berbeda-beda, yaitu menurut tingkat kelompok responden. Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan nipah sebagai pembungkus tembakau, kerajinan tangan, sumber makanan, dan obat-obatan sebagian besar diperoleh secara turun temurun. Menurut Pengetahuan tentang khasiat obat suatu jenis tumbuhan dan pemakaiannya sebagai obat diperoleh masyarakat setempat hanya dengan melihat atau mendengar dari orang tua secara turun temurun dan dari pengalaman orang lain disekitarnya [10].

4. Kerapatan Tumbuhan Nipah di Kabupaten Aceh Barat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 4 kecamatan di Kabupaten Aceh Barat diperoleh jumlah total petak kuadrat adalah 44 dengan luas total area 4.400 m2. Tumbuhan nipah dipisahkan berdasarkan tahap pertumbuhannya yaitu nipah dewasa dan nipah muda. Tumbuhan nipah yang dewasa memiliki jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan dengan nipah muda, jumlah nipah dewasa adalah 2563 dan nipah muda sebanyak 545 (Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Kerapatan tumbuhan nipah di Kabupaten Aceh Barat

Kecamatan Jumlah nipah Jumlah petak kuadrat Kerapatan jenis/(Km2)
Dewasa muda Nipah dewasa Nipah muda
Meureubo 543 120 10 5430 1200
Johan Pahlawan 1052 145 15 7010 970
Samatiga 835 262 12 6960 2180
Arongan Lambalek 133 18 7 1900 260


Kerapatan tumbuhan nipah dewasa yang ditemukan di Kecamatan Meureubo yaitu 5430/Km2 dan kerapatan nipah muda 1200/Km2. Informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat setelah tsunami banyak lahan payau berubah fungsi menjadi lahan tambak untuk pemeliharaan ikan oleh masyarakat, sehingga sebagian lahan nipah berubah fungsi sebagai lahan tambak.

Kerapatan tumbuhan nipah dewasa di Kecamatan Johan Pahlawan yaitu 7010/Km2 dan nipah muda yaitu 970/Km2. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa setelah bencana tsunami masyarakat setempat membiarkan tumbuhan nipah tumbuh di lahan payau tanpa terurus. Selanjutnya kegiatan masyarakat di Kecamatan ini beralih pada perkebunan khususnya perkebunan karet.

Kerapatan tumbuhan nipah dewasa di Kecamatan Samatiga yaitu 6960/Km2 sedangkan kerapatan nipah muda yaitu 2180/Km2. Masyarakat di Kecamatan ini juga memanfaatkan lahan payau sebagai lahan tambak untuk pemeliharaan ikan. Sebagian masyarakat membiarkan lahan payau tanpa terurus karena lahan payau tersebut sulit untuk dilalui.

Kecamatan Arongan Lambalek termasuk kawasan yang sangat parah terkena bencana tsunami termasuk lahan payaunya. Menurut informasi dari masyarakat sebelum bencana tsunami pada lahan payau banyak ditumbuhi pohon nipah, tetapi setelah bencana tsunami lahan payau tersebut hanya sedikit ditumbuhi pohon nipah, dan dibiarkan tanpa diurus dan dijaga. Sementara masyarakat beralih pada sektor perkebunan darat khususnya perkebunan karet, kelapa dan nilam.

IV. SIMPULAN

1. Organ tumbuhan nipah yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat adalah organ daun, bunga dan buah.
2. Tumbuhan nipah dimanfaatkan sebagai pembungkus tembakau, bahan kerajinan tangan, sumber makanan dan obat-obatan.
3. Tumbuhan nipah memiliki kerapatan jenis yang besar di Kecamatan Johan Pahlawan, sedangkan kerapatan jenis yang paling sedikit adalah di Kecamatan Arongan Lambalek.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Siregar, E. B. M. 2005. Inventarisasi Jenis Palem (Arecaceae) pada Kawasan hutan Dataran Rendah di Statiun Penelitian Sikundur (Kawasan Ekosistem Leuser) Kabupaten Langkat. Artikel USU Repository. Diakses tanggal 27 Maret 2009.

[2] Kinnaird, M. F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. GEF Biodiversity Collection Project, Jakarta.

[3] Anonimus. 2007a. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/nipah Diakses tanggal: 15 Desember 2007.

[4] Martin, G. J. 1995. Ethnobotany. Chaman and Hall. London.

[5] Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Diterjemahkan oleh: Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.

[6] Santoso, N., B. C. Nurcahya, A. F. Siregar, dan I. Farida. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. http://72.14.235. 104/imred.org/files/bukumakananmangrove.pdf. Diakses tanggal 20 Oktober 2008.

[7] Suhardiyono, L. 1986. Tanaman Kelapa: Budidaya dan Manfaatnya. Kanisius, Yogyakarta.

[8] Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gajah Mada University, Yogyakarta.

[9] Zein, U. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat dalam Upaya Pemeliharaan Kesehatan. Artikel USU Repository. Lybriry.usu.ac.id/modules.pp?op=modload&name=downloads&file=index&req=getid&lid=1591. Diakses tanggal 15 September 2008.

[10] Sastroadmodjojo, S. 1988. Obat Asli Indonesia. LIPI. Balai Pustaka, Bogor.

Wedelia biflora

2.1 Tumbuhan Wedelia biflora
Wedelia biflora merupakan tanaman yang biasa ditemukan pada daerah belakang pantai dan sepanjang aliran pasang surut dan batas hutan bakau, dimana jenis ini dapat membentuk belukar yang sulit ditembus. Jenis ini juga umum di hutan sekunder, kebun yang ditinggalkan, perkebunan kelapa dan sawah yang belum ditanami. Penyebarannya mulai dari Afrika tropis ke arah timur ke India dan Indo-Cina sampai Jepang, dan ke arah selatan dari Malaysia ke Australia tropis dan Polinesia Barat (Kristio, 2007).

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Wedelia biflora
Wedelia biflora merupakan tanaman terna atau liana, jarang sekali berupa pohon. Batang tanaman ini berbentuk bulat dan termasuk batang basah (herbaceous). Mempunyai panjang 1-3 m. Posisi batangnya merayap di atas permukaan tanah, pada setiap ruas batangnya dapat tumbuh akar (Kristio, 2007). Batang dari tanaman ini juga memiliki kulit seperti perdu berserat, dibawah kulit batang terdapat lapisan kulit berkayu dan dalam kayu itu ada empulur yang kering dan berwarna putih (Heyne, 1987). Tanaman ini termasuk dalam tanaman dikotil sehingga sistem perakarannya adalah tunggang. Salah satu keunikan dari tanaman ini ialah akar dapat tumbuh pada ruas-ruas batangnya. Hal ini disebabkan karena tanaman ini tumbuh dengan merayap di atas permukaan tanah.








Gambar 2.1 Morfologi Wedelia biflora

Tanaman ini termasuk tanaman yang berdaun tidak lengkap, sebab hanya memiliki tangkai daun dan helaian daun saja (tidak memiliki pelepah/upih daun).
Daunnya berwarna hijau cerah mengkilap, sedikit atau banyak memiliki rambut daun, tunggal, kadang-kadang terbagi sangat dalam hingga menyerupai daun majemuk, duduk daun berhadapan, jarang tersebar, kebanyakan tanpa daun penumpu, panjang 1,5-6 cm, Tanaman ini memiliki daging daun yang tipis dan lunak (herbaceous), dengan tepi daun yang bergerigi (serratus). Dilihat dari toreh pada tepi daun dan susunan tulang-tulang daunnya, tanaman ini dapat dikategorikan tanaman dengan daun berlekuk menyirip (pinnatilobus). Bangun daunnya sendiri adalah obovate / obovatus (bulat telur sungsang), namun beberapa jenis ada yang berbentuk oval (ovatus), dengan ujung daunnya runcing (acutus), (Tjitrosoepomo,1989).
Bunganya berwarna kuning cerah, mirip seperti bunga matahari (hanya ukurannya lebih kecil), (Sastrapradja et al). Tergolong dalam bunga majemuk dengan bentuk cawan (anthodium) dan memiliki banyak simetri (actinomorf). Dasar bunga kecil bersama, terdapat sisik jerami. Bunga tepi 5 – 8, berkelamin tunggal atau banci, tabung pendek, pita memanjang, ujung melekuk ke dalam, lebar. Letak bunga di ujung tangkai, bentuk mahkota bunga tidak saling berlekatan (polypetalus). Simetri bunga tidak tentu tabung kepala sari hitam atau coklat tua. Tangkai putik dengan dua cabang bentuk benang, panjang. Panjang ibu tangkai bunganya (pedunculus) 3-10 cm (.Pujowati & Penny, 2006).
Seperti bunga cawan lazimnya, didapati dua macam bunga, yaitu :
1. Bunga pita (flos ligulatus), bunga mandul yang terdapat di sepanjang tepi cawan dan mempunyai mahkota berbentuk pita.
2. Bunga tabung (flos disci), bunga yang terdapat di atas cawannya sendiri, umumnya berbentuk tabung.
Termasuk ke dalam golongan buah kurung (achenium), dinding buahnya tipis, berdampingan dengan kulit biji tetapi tidak berlekatan, dan mempunyai panjang 4-5. Bijinya bulat telur, kecil, hitam (Kristio, !987)

2.1.2 Taksonomi Tumbuhan Wedelia biflora
Tumbuhan Wedelia biflora termasuk ke dalam familia Asteraceae. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman wedelia, antara lain Wedelia trilobita, Wedelia montana, Wedelia calendulacea Less., Wedelia chinensis (Osbeck) Merr., dan Wedelia biflora (L.) DC (Pujowati & Penny 2006).


Tanaman Wedelia biflora dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-kelas : Asteridae
Suku : Asterales
Familia : Asteraceae
Marga : Wedelia
Spesies :Wedelia biflora (L.)DC (Anonymous, 2007)

2.1.3 Kegunaan Tumbuhan Wedelia biflora
Tumbuhan Wedelia biflora banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai obat, campuran obat mampu untuk makanan. Seduhan akar dari tumbuhan ini dapat menyembuhkan penyakit keputihan dan gonorrhoe. Bahan ini juga dicampur dengan minyak sebagai obat batu karang. Kulit luar yang terkikis dari batang dimasak dengan minyak kelapa yang segar yang dapat digunakan sebagai obat luka. Pucuk yang dari batang yang masih hijau digunakan untuk menyembuhkan luka-luka kecil di daging dan untuk bisul. Batang dan daun setelah dengan air dapat diminum untuk menurunkan panas sakit demam. Orang Cina dan orang Jawa mencuci diri dengan rebusan bahan ini sebagai obat gatal. Daun mentah yang muda berwarna kuning sering dilalap dengan ikan untuk digunakan para nelayan sebagai bahan makanan (Heyne,1987).

kultur jaringan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tumbuhan merupakan salah satu bahan alam sebagai sumber senyawa kimia penting, digunakan sebagai bahan obat maupun sebagai bahan bioaktif lainnya (Adnan, 1988). Banyak tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional untuk mengatasi berbagai macam penyakit (Huang, 1984). Salah satu tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat adalah tumbuhan sernai (Wedelia biflora (L.) DC.) yang digunakan sebagai obat antimalaria. Tumbuhan ini telah lama digunakan sebagai obat untuk mengatasi demam (antipiretik) dan gonorrhoea. Sifat antipiretik inilah yang dapat membantu penderita malaria untuk melawan penyakitnya (Sastrapradja dan Nagai, 1986; Heyne, 1987; Dzulkarnain, 2004). Ekstrak kasar tumbuhan ini juga digunakan untuk antibakteri, antijamur, antifedan dan antiradang akibat reaksi alergi (Miles, 1990; Wahyuni, 1999; Razali, 2001; Rinidar, 2005).
Kultur jaringan sel tanaman secara in vitro merupakan salah satu cara untuk memproduksi hasil metabolit sekunder, yaitu senyawa yang berkhasiat obat yang dapat menghasilkan senyawa setiap waktu pada kondisi lingkungan yang dapat diatur. Melalui kultur jaringan juga dimungkinkan pula mengatur proses metabolismenya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya (Sandra, 2000). Keberhasilan dalam teknik kultur jaringan termasuk kultur kalus antara lain dipengaruhi oleh komposisi media dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (Katuuk, 1989; Gunawan, 1995). Menurut Zahara (2007) kombinasi zat pengatur tumbuh Naftalene Acetic Acid (NAA) dan Benzil Amino Purine (BAP) pada kultur jaringan pucuk tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) mampu memicu pembentukan kalus. Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) dalam memicu pertumbuhan kalus tumbuhan sernai. Dengan adanya penelitian lanjutan maka akan dapat diketahui kandungan senyawa metabolit sekunder dalam kalus batang dan kalus daun Wedelia biflora hasil dari kultur jaringan.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) pada pertumbuhan kalus tumbuhan Sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).

1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi cara perbanyakan tumbuhan sernai melalui kultur jaringan khususnya menyangkut kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Sernai
Sernai merupakan tumbuhan yang biasa ditemukan pada daerah pantai, sepanjang aliran pasang surut, batas hutan bakau, dan dapat membentuk belukar. Tumbuhan ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder, kebun yang ditinggalkan, perkebunan kelapa dan sawah yang belum ditanami. Penyebarannya mulai dari Afrika tropis ke arah timur ke India dan Indo-Cina sampai Jepang, dan ke arah selatan dari Malaysia ke Australia tropis dan Polinesia Barat (Kristio, 2007).
2.1.1 Morfologi Tumbuhan Sernai
Tumbuhan sernai merupakan terna atau liana. Batang tumbuhan ini berbentuk silindris dan termasuk batang basah (herbaceous), mempunyai panjang 1 – 3 m. Posisi batangnya merayap di atas permukaan tanah, pada setiap ruas batangnya dapat tumbuh akar (Kristio, 2007). Batang dari tumbuhan ini juga memiliki kulit seperti perdu berserat, di bawah kulit batang terdapat lapisan kulit berkayu dan dalam kayu itu ada empulur yang kering dan berwarna putih. Tumbuhan ini termasuk dalam tumbuhan dikotil sehingga sistem perakarannya adalah tunggang. Salah satu keunikan dari tumbuhan ini ialah akar dapat tumbuh pada ruas-ruas batangnya dan tumbuh dengan merayap di atas permukaan tanah (Heyne, 1987).
Tumbuhan ini termasuk tumbuhan yang berdaun tidak lengkap, sebab hanya memiliki tangkai daun dan helaian daun saja, tidak memiliki pelepah/upih daun. Daunnya berwarna hijau cerah mengkilap, sedikit atau banyak memiliki rambut daun, tunggal, kadang-kadang terbagi sangat dalam hingga menyerupai daun majemuk, duduk daun berhadapan, jarang tersebar, kebanyakan tanpa daun penumpu, panjang 1,5 – 6 cm. Tumbuhan ini memiliki daging daun yang tipis dan lunak, dengan tepi daun yang bergerigi (serratus). Dilihat dari toreh pada tepi daun dan susunan tulang-tulang daunnya, tumbuhan ini dapat dikategorikan tumbuhan dengan daun berlekuk menyirip (pinnatilobus). Bangun daunnya bulat telur sungsang (obovatus), namun beberapa jenis ada yang berbentuk oval (ovatus), dengan ujung daunnya runcing (acutus) (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007).
Bunganya berwarna kuning cerah, mirip seperti bunga matahari (Sunarno, 1992; Kristio, 2007; Anonimous, 2007). Bunganya tergolong dalam bunga majemuk dengan bentuk cawan (anthodium) dan memiliki banyak simetri (actinomorf). Mahkota bunga berjumlah 5 – 8, berkelamin tunggal atau banci, memiliki tabung yang pendek, pita memanjang, ujung mahkota melekuk ke dalam. Letak bunga di ujung tangkai, bentuk mahkota bunga tidak saling berlekatan (polypetalus). Tangkai putik dengan dua cabang bentuk benang dan panjang. Panjang ibu tangkai bunganya (pedunculus) 3 – 10 cm (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007).
2.1.2 Taksonomi Tumbuhan Sernai
Tumbuhan sernai termasuk ke dalam familia Asteraceae. Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman Wedelia, antara lain Wedelia trilobata, Wedelia montana, Wedelia calendulacea Less., Wedelia chinensis (Osbeck) Merr., dan Wedelia biflora (L.) DC. (Tjitrosoepomo, 1989; Pujowati dan Penny, 2006; Kristio, 2007; Anonimous, 2007).
Menurut Tjitrosoepomo (1989) tumbuhan Sernai dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Suku : Asterales
Familia : Asteraceae (Compositae)
Marga : Wedelia
Spesies : Wedelia biflora (L.) DC.

2.2 Teknik Kultur Jaringan Tanaman
Teknik kultur jaringan tanaman merupakan metoda untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan atau organ dan menumbuhkannya dalam media buatan aseptik yang mengandung nutrisi dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Bagian-bagian tanaman tersebut di dalam media dapat memperbanyak diri dan dapat beregenerasi kembali menjadi tanaman yang lengkap. Kultur jaringan menggunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann. Menurut kedua ahli tersebut, sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dari bagian tanaman manapun sel tersebut diambil, yang apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho dan Sugito, 2005).
Sel yang berasal dari spesies tanaman apapun dapat dibiakkan atau dikulturkan secara aseptik dalam media buatan, baik dalam media padat atau media cair. Kultur jaringan biasanya dimulai dengan menanamkan satu iris jaringan steril pada media buatan yang dapat berupa padat ataupun cair, dalam waktu 2 – 3 minggu akan dapat terbentuk kalus (Whetter dan Constabel, 1991). Kalus adalah jaringan yang terdiri dari sejumlah sel yang tidak terorganisasi, merupakan bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan bagian tanaman seperti daun, batang dan akar. Dalam kultur jaringan, kalus terbentuk karena luka/irisan eksplan sebagai respon terhadap auksin dan sitokinin yang tinggi (Katuuk, 1989; Nugroho dan Sugito, 2005). Hasil perbanyakan tanaman secara kultur jaringan pada prinsipnya jauh lebih unggul dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional, karena tanaman hasil kultur dipastikan mempunyai sifat yang sama dengan induknya (Nugroho dan Sugito, 2005).
Selain mendapat turunan yang sama serta waktu yang relatif cepat, masih banyak keunggulan yang bisa didapatkan dari pembiakan vegetatif melalui kultur jaringan, seperti konsep Hussey dan Fossard yang dituliskan oleh Katuuk (1989) seperti berikut:
a. Mampu memperbanyak dengan cepat kultivar hibrida baru yang berasal dari satu sel untuk kegunaan komersil.
b. Mampu menciptakan tanaman baru bebas dari penyakit yang disebabkan oleh virus.
c. Mampu memperbanyak tanaman yang sukar diperbanyak dengan memakai biji (seksual).
d. Mampu memperoleh tanaman induk yang sama sifat genetiknya dalam jumlah yang banyak.
e. Mampu menghasilkan tanaman baru sepanjang tahun.

2.3 Media Kultur
Keberhasilan dalam penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikultur (Whetter dan Constabel, 1991). Faktor penentu di dalam media tumbuh adalah komposisi garam anorganik, ZPT dan bentuk fisik media (Gunawan, 1995). Banyak jenis media yang digunakan untuk kultur kalus, namun yang paling banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Kandungan garam-garam dalam media MS tersebut antara lain hara nitrogen serta terdapat gula dan vitamin (Katuuk, 1989).
Berdasarkan tipe fisiknya media terbagi 3 yaitu media padat, media semi cair dan media cair (Katuuk 1989).
2.3.1 Media padat
Media padat adalah media yang dipadatkan dengan menambahkan agar-agar sehingga eksplan tidak mudah berpindah tempat. Media padat memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan media padat yaitu perkembangan eksplan mudah diamati terutama yang berukuran kecil, tidak semua bagian eksplan terbenam dalam media sehingga memungkinkan sirkulasi udara eksplan dan jika terjadi kontaminasi, eksplan yang tidak terkontaminasi dapat diselamatkan.
Kekurangan media padat yaitu hanya bagian permukaan eksplan yang mengalami aerasi dengan baik, hubungan antara media dan eksplan terbatas yaitu hanya pada bagian yang tersentuh media, sehingga perkembangannya tidak seimbang.
2.3.2 Media semi cair
Media semi cair adalah media cair yang ditambahkan bahan pemadat berupa agar jumlahnya setengah atau sepertiga dari jumlah bahan agar untuk media padat. Ada juga media semi cair tanpa menggunakan agar melainkan bahan lain berupa filter polyethylene atau kain yang mudah menyerap air, sehingga dapat mengantarkan zat hara dari media ke eksplan. Media ini jarang digunakan karena sulit dalam pengaturan letak eksplan dan mengamati perkembangannya.
2.3.3 Media cair
Media cair adalah media yang tidak menggunakan agar-agar. Penggunaan media ini dibantu dengan menggunakan alat agitasi yang dinamakan shaker. Media ini digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada media padat. Agitasi bertujuan untuk menciptakan pertukaran gas dan supaya eksplan tidak tenggelam. Agitasi memungkinkan seluruh permukaan eksplan menerima suplai zat hara dari media semaksimal mungkin (Katuuk, 1989).



2.4 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah hormon tumbuhan sintetis yang dapat memacu pertumbuhan sel-sel atau jaringan tertentu dari sel-sel kalus yang belum terdiferensiasi (Rahardja, 1995). Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor penting dalam penggunaan ZPT antara lain: jenis, konsentrasi dan urutan penggunaan ZPT serta lama waktu induksi tanaman pada media yang mengandung ZPT (Gunawan, 1995). Menurut (Katuuk, 1989), ada beberapa jenis ZPT yaitu; auksin, giberelin, sitokinin dan adenin, namun yang paling sering digunakan adalah auksin dan sitokinin.
2.4.1 Auksin.
Auksin adalah hormon tumbuhan yang diproduksi secara alamiah dalam tubuh tumbuhan, kini jenis hormon tumbuhan ini dapat dibuat secara sintetis. Menurut Katuuk (1989), fungsi auksin dalam media yaitu merangsang pertumbuhan kalus, pembesaran sel, pertumbuhan akar dan mengatur morfogenesis tanaman.
Penggunaan auksin tergantung pada jenis pertumbuhan yang diinginkan, jumlah auksin endogen dalam eskplan, kemampuan eksplan untuk membentuk auksin alamiah dan interaksi antara auksin eksogen dengan auksin endogen (Katuuk, 1989). Ada beberapa jenis auksin sintetis antara lain IAA (Indole acetic acid), NAA (Naphtalene acetic acid), 2,4-D (2,4 dichlorophenoxy acetic acid) dan IBA (Indole butyric acid). Penambahan NAA pada media kultur terbukti mampu menginduksi kalus pada tumbuhan Gramineae, Solanaceae dan banyak tumbuhan lainnya. Menurut Gunawan (1995), konsentrasi NAA yang umum digunakan untuk terbentuknya kalus adalah 0,01 – 10 mg/L.
2.4.2 Sitokinin.
Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering disebut kinin. Fungsi sitokinin yaitu mengatur pertumbuhan melalui pembelahan sel, membantu mengawasi perkecambahan biji, mengatur transpor auksin dan membantu menunda senescens (penuaan) dengan cara menghalangi penguraian klorofil, protein dan asam inti yang ada dalam daun. Dalam kultur jaringan, sitokinin berfungsi untuk mengatur pertumbuhan serta morfogenesis. Kini dikenal beberapa macam sitokinin sintetis antara lain kinetin, BAP/BA, Zeatin dan Thidiazuron (Katuuk, 1989; Gunawan, 1995).
Golongan sitokinin aktif adalah BAP (Benzyl Aminopurine) dan Thidiazuron. Secara umum konsentrasi sitokinin yang digunakan untuk terbentuknya kalus berkisar antara 0,1 – 10 mg/L (Katuuk, 1989).







BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi sel dan Molekuler Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Syiah Kuala, dari bulan Juni 2008 sampai Juni 2009

3.2 Sampel.
Eksplan yang digunakan untuk penelitian ini adalah bagian akar, batang dan pucuk daun tumbuhan sernai (Wedelia biflora (L.) DC.) yang diambil dari sekitar kampus Unsyiah di Banda Aceh.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laminar air flow cabinet, autoclave, lemari pendingin, timbangan analitik, lampu spiritus, pinset, skalpel, spatula, pH meter, corong, pipet tetes, labu Erlenmeyer 500 mL, gelas ukur 5 mL, 10 mL, 100 mL dan 500 mL, batang pengaduk, botol kultur, botol alkohol, sprayer, masker dan alat-alat lainnya.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% dan 95%, Clorox, deterjen, zat pengatur tumbuh (NAA dan BAP), aluminium foil, dan media Murashige dan Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962, dengan komposisi seperti tertera pada Lampiran 1.

3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Subsampling yang terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dengan 3 blok dan 3 subsampling. Masing-masing perlakuan dengan kombinasi NAA (1,0 mg/L, 1,5 mg/L, dan 2,0 mg/L) dan BAP (0,5 mg/L, 1,0 mg/L, dan 1,5 mg/L).

3.5 Cara Kerja
3.5.1 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang tahan panas disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 30 menit, dan yang tidak tahan panas disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%. Bahan-bahan yang digunakan seperti akuades dan media Murashige dan Skoog (MS) disterilkan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.
3.5.2 Pembuatan Media
1. Pembuatan larutan stok hara
Stok hara terdiri dari stok hara makro yaitu stok A, B, C, D, E, F dan stok hara mikro yaitu stok G (Lampiran 1). Larutan stok hara 1 L dibuat dengan cara menimbang setiap garam mineral sesuai dengan jumlah yang terdapat pada Lampiran 1. Masing-masing bahan dilarutkan ke dalam 100 mL akuades steril yang telah diisikan ke dalam wadah yang disediakan. Stok yang komposisinya lebih dari 1 jenis garam mineral seperti stok F dan G dilarutkan secara terpisah dengan akuades steril, kemudian dicampur dalam satu wadah. Setelah bahan kimia larut dan tercampur sempurna volume ditepatkan hingga 1 liter dengan menambah akuades steril.
Khusus untuk larutan stok F, setelah Na2EDTA dimasukkan ke dalam 200 mL akuades steril, kemudian dipanaskan pada suhu 40 – 60oC hingga larut dan setelah dingin ditambahkan FeSO4.7H2O yang telah dilarutkan dengan akuades steril. Setelah kedua bahan dicampurkan volume ditepatkan hingga 1 liter dengan menambah akuades steril, kemudian wadah larutan stok F ditutup dengan alumunium foil. Semua stok disimpan dalam lemari pendingin.
2. Pembuatan larutan stok vitamin
Bahan yang telah ditimbang sesuai dengan jenis dan jumlah yang terdapat pada Lampiran 1 (stok H, I dan J) dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 mL yang telah berisi 25 mL akuades steril.
3. Pembuatan larutan stok Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
a. Pembuatan larutan stok auksin
Ditimbang 100 mg auksin, dilarutkan ke dalam 70 mL akuades steril, diaduk sambil ditetesi larutan KOH 1 N setetes demi setetes hingga bahan larut sempurna dan ditepatkan volumenya hingga 100 mL dengan menambah akuades steril, disimpan dalam lemari pendingin.
b. Pembuatan larutan stok sitokinin
Ditimbang 100 mg sitokinin, dilarutkan ke dalam 70 mL akuades, diaduk sambil ditetesi HCl 1 N setetes demi setetes hingga bahan larut sempurna dan ditepatkan volumenya hingga 100 mL dengan menambah akuades steril, disimpan dalam lemari pendingin.
4. Pembuatan dan sterilisasi media
Setelah semua larutan stok dimasukkan, ditambahkan 8 g agar-agar dan 30 g gula, diukur pH sebesar 5,6 sebelum disterilkan, untuk mendapatkan pH yang sesuai ditambahkan KOH 1 N atau HCl 1 N, media dipanaskan dan dituang ke dalam botol-botol kultur setinggi 1,5 – 2 cm, botol ditutup rapat dengan aluminium foil. Media disterilkan dalam autoclave pada suhu 121°C selama 15 menit. Media yang telah steril disimpan selama 3 hari, bila tidak terkontaminasi maka media dapat digunakan.
3.5.3 Sterilisasi eksplan
Akar, batang dan pucuk tumbuhan sernai yang digunakan sebagai eksplan disterilkan dengan menggunakan detergen selama 5 menit dan dicuci 3 kali dengan akuades steril. Kemudian direndam dalam alkohol selama 3 menit, dan dicuci 3 kali dengan akuades steril. Selanjutnya direndam selama 5 menit ke dalam larutan clorox 50% dan dicuci sebanyak 3 kali dengan akuades steril.
3.5.4 Penanaman eksplan
Eksplan yang sudah disterilkan, selanjutnya ditanam pada botol berisi media MS secara aseptik dengan bantuan pinset (1 eksplan dalam satu botol). Botol berisi eksplan kemudian disimpan dalam ruang inkubasi pada suhu 25°C dengan pencahayaan lampu TL selama 24 jam.

3.6 Parameter yang Diamati
1. Waktu pembengkakan eksplan setelah hari tanam.
2. Waktu muncul kalus setelah hari tanam.
3. Berat basah akhir kalus yang dihitung dalam gram.


3.7 Analisa Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian (ANAVA) dan dilakukan uji lanjut melalui BNT.
















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Waktu Pembengkakan Eksplan
Auksin dan sitokinin merupakan jenis hormon yang dapat menyebabkan terjadinya pembengkakan pada jaringan eksplan. Analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) berpengaruh tidak nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan. Berdasarkan bagian eksplan yang digunakan menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan (P < 0,01).
Setiap eksplan yang tumbuh memiliki waktu yang berbeda untuk mengalami pembengkakan sel. Waktu pembengkakan eksplan akar dan batang berbeda dengan eksplan daun. Eksplan dari bagian daun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalami pembengkakan sel. Rata-rata waktu pembengkakan eksplan pada tiap blok dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata waktu pembengkakan eksplan setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Waktu Pembengkakan (hst)
1 Akar 7,33a ± 1,04
2 Batang 6,81a ± 0,62
3 Daun 11,04b ± 1,19
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Waktu pembengkakan eksplan akar dan batang berbeda sangat nyata dengan waktu pembengkakan eksplan daun. Rata-rata waktu pembengkakan eksplan akar dan batang yaitu 6,81 – 7,33 hari setelah tanam (hst), dan rata-rata waktu pembengkakan eksplan daun yaitu 11,04 hst.
Tabel 4.2 Rata-rata waktu pembengkakan eksplan setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Waktu Pembengkakan (hst)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 9,00 ± 2,87
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 8,67 ± 2,12
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 8,56 ± 2,13
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 8,22 ± 2,37
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 8,33 ± 1,41
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 7,89 ± 1,96
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 8,11 ± 2,47
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 8,33 ± 2,29
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 8,44 ± 2,00

Hasil penelitian menunjukkan waktu pembengkakan eksplan tercepat berdasarkan perlakuan yang diberikan yaitu 7,89 hst (Tabel 4.2) terjadi pada eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan kombinasi NAA 1,5 mg/L + BAP 1,5 mg/L. Pembengkakan yang terjadi pada eksplan merupakan suatu proses pertumbuhan awal dengan penyerapan nutrisi dari media yang selanjutnya disertai dengan tahapan proliferasi (perbanyakan sel). Proses ini diduga sangat erat kaitannya dengan kemampuan sel tumbuhan untuk mempertahankan strukturnya. Dinding sel dan plasmalemmanya sedikit demi sedikit mengembang (mengendur) melalui aktifitas metabolik, yang mengakibatkan air masuk ke dalam sel untuk mengisi celah kosong. Serat-serat selulosa penyusun dinding sel disintesis kembali melalui celah-celah yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Salisburry dan Ross (1995) dimana auksin dan sitokinin merupakan jenis hormon yang dapat meningkatkan pembengkakan dinding sel tumbuhan, kemudian menyebabkan masuknya air dan menimbulkan tekanan (turgor) serta mensintesis kembali serat-serat selulosa, sehingga sel yang telah membesar tidak dapat mengecil kembali dan terjadi pertumbuhan.

4.2 Waktu Munculnya Kalus
Analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa kombinasi auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya kalus. Berdasarkan bagian eksplan yang digunakan (blok) menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata terhadap waktu pembengkakan (pembesaran sel) eksplan (P < 0,01). Waktu yang dibutuhkan setiap eksplan terhadap pembentukan kalus juga berbeda antara eksplan akar, batang dan daun. Rata-rata waktu munculnya kalus pada tiap blok dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Rata-rata waktu munculnya kalus setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Waktu Munculnya Kalus (hst)
1 Akar 12,15a ± 2,27
2 Batang 12,52a ± 1,65
3 Daun 17,63b ± 2,34




Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Rata-rata waktu munculnya kalus pada eksplan akar dan batang yaitu 12,15 – 12,52 hst dan rata-rata waktu pembengkakan eksplan daun yaitu 17,63 hst. Ini menunjukkan bahwa waktu munculnya kalus pada eksplan akar dan batang berbeda sangat nyata terhadap waktu munculnya kalus pada eksplan daun.


Tabel 4.4 Rata-rata waktu munculnya kalus setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Waktu Munculnya Kalus (hst)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 11,78a ± 3,11
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 12,78a ± 2,82
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 12,78a ± 2,86
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 14,78a ± 2,54
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 14,78ab ± 2,17
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 15,22ab ± 2,11
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 13,89ab ± 4,01
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 14,33ab ± 4,61
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 16,56b ± 2,92


Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji BNT taraf 1%, hst = hari setelah tanam.

Berdasarkan hasil penelitian, kombinasi auksin dan sitokinin pada beberapa konsentrasi menunjukkan pertumbuhan kalus yang optimal. Hasil penelitian berdasarkan perlakuan yang diberikan menunjukkan bahwa waktu pembentukan kalus tercepat yaitu 11,78 hst (Tabel 4.3) terjadi pada eksplan yang dikulturkan pada media dengan penambahan kombinasi NAA 1,0 mg/L + BAP 0,5 mg/L. Hal ini sesuai dengan pernyataan Campbell, et al. (2002) bahwa pemberian auksin saja tanpa sitokinin dalam kultur jaringan hanya menyebabkan sel-sel akan membesar tanpa proses pembelahan sel, sehingga tidak memberi pengaruh apapun. Namun, jika auksin dan sitokinin digunakan secara bersamaan, maka sel-sel akan membelah diri secara optimal. Ketika konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh itu hampir sama, massa sel akan terus bertambah, namun yang tumbuh adalah kalus yang belum mengalami diferensiasi.
Pertumbuhan kalus diawali dari bagian pinggir eksplan dan dilanjutkan pada bagian luka yang bersentuhan langsung dengan media. Kalus yang tumbuh pada tiap perlakuan memiliki tekstur yang hampir sama dengan warna hijau. Menurut Santoso dan Nursandi (2002) disitasi oleh Hardiyanto, et al. (2004) warna hijau pada kalus yang pertama terbentuk disebabkan kalus masih membawa sifat asli eksplan.







Gambar 4.1 Bentuk kalus dari eksplan daun setelah 6 minggu penanaman pada media

Setiap eksplan membutuhkan waktu yang berbeda untuk terbentuknya kalus. Eksplan dari bagian daun membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan eksplan dari bagian organ yang lain namun memiliki ukuran kalus yang lebih besar (Gambar 4.1).











Gambar 4.2 Bentuk kalus dari eksplan akar setelah 6 minggu penanaman pada media

















Gambar 4.3 Bentuk kalus dari eksplan batang setelah 6 minggu penanaman pada media

Untuk keseluruhan proses pertumbuhannya, eksplan dari bagian akar dan batang menunjukkan waktu pembengkakan eksplan dan kemunculan kalus yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan eksplan dari bagian daun. Analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa pertumbuhan eksplan akar, batang dan daun berbeda sangat nyata (P < 0,01).


4.3 Berat basah akhir kalus
Berdasarkan hasil analisis data, berat basah akhir kalus pada setiap taraf perlakuan tidak berbeda nyata satu sama lain. Pertumbuhan kalus pada berbagai perlakuan memperlihatkan tingkat pertumbuhan yang berbeda. Beberapa kalus yang terbentuk mengalami pertumbuhan yang tidak maksimal, sehingga berat basah yang dihasilkan memiliki perbedaan. Eksplan dari bagian akar ukurannya sangat kecil, sehingga ketika terjadi pembentukan kalus ukurannya juga sangat kecil dan berat rata-ratanya jauh di bawah berat rata-rata kalus eksplan bagian organ yang lain. Rata-rata berat basah akhir kalus yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.
Tabel 4.5 Rata-rata berat basah akhir kalus setelah diinkubasi pada media yang diperkaya dengan ZPT berdasarkan bagian eksplan yang digunakan
No Blok Berat Basah Akhir (Gram)
1 Akar 0,038 ± 0,06
2 Batang 0,313 ± 0,37
3 Daun 0,488 ± 0,54





Rata-rata berat basah akhir kalus yang didapatkan dari setiap eksplan berbeda, kalus dari bagian daun menunjukkan berat basah yang lebih besar dibandingkan dengan kalus dari eksplan akar dan batang. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa rata-rata berat basah akhir kalus tidak berbeda nyata untuk setiap eksplan yang digunakan.
Tabel 4.6 Rata-rata berat basah akhir kalus setelah diinkubasi pada media berdasarkan perlakuan yang diberikan
No Perlakuan (mg/L) Berat Basah Akhir (Gram)
1 NAA 1,0 + BAP 0,5 0,304 ± 0,37
2 NAA 1,0 + BAP 1,0 0,212 ± 0,30
3 NAA 1,0 + BAP 1,5 0,404 ± 0,63
4 NAA 1,5 + BAP 0,5 0,232 ± 0,38
5 NAA 1,5 + BAP 1,0 0,247 ± 0,34
6 NAA 1,5 + BAP 1,5 0,326 ± 0,54
7 NAA 2,0 + BAP 0,5 0,191 ± 0,35
8 NAA 2,0 + BAP 1,0 0,282 ± 0,48
9 NAA 2,0 + BAP 1,5 0,316 ± 0,53









Beberapa ulangan pada satu taraf perlakuan juga memperlihatkan pertumbuhan yang sangat berbeda satu sama lain sehingga memiliki berat basah yang sangat berbeda pula (Lampiran 10). Hal ini diduga karena kondisi fisiologi jaringan yang berbeda. Berat basah akhir kalus sangat dipengaruhi oleh proses pembengkakan sel dan pembelahan sel yang mengakibatkan terjadinya pertambahan ukuran eksplan serta munculnya kalus. Pembengkakan sel terjadi akibat adanya penyerapan air oleh sel yang dipengaruhi oleh auksin yang mengakibatkan dinding sel mengendur dan membesar, sehingga ukuran eksplan membesar dan terjadi pertambahan berat basah. Menurut Abidin (1983) auksin dapat meningkatkan proses penyerapan air oleh sel dikarenakan auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein, serta meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel. Menurut Lakitan (1996) setiap sel mempunyai kepekatan tersendiri terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan, selain itu waktu yang dibutuhkan setiap sel untuk melakukan pembelahan tidak sama, karena sel yang berbeda mungkin saja memiliki siklus sel yang berbeda.
Berdasarkan data yang diperoleh, kombinasi NAA 1,0 mg/L + BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik terhadap berat basah akhir kalus yang dihasilkan yaitu 0,404 g. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi inilah yang paling tepat untuk menginduksi kalus tanaman sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).
Berdasarkan hasil yang telah didapatkan dari penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa kombinasi NAA 1,0 mg/L dan BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan kalus tumbuhan sernai, baik pada waktu munculnya kalus setelah hari tanam maupun pada berat basah akhir kalus yang dihasilkan yang dihitung dalam gram.






BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan :
1. Organ tumbuhan : akar, batang dan daun Wedelia biflora dapat digunakan sebagai eksplan untuk menghasilkan kalus pada kultur jaringan.
2. Kombinasi Auksin (NAA) dan Sitokinin (BAP) menunjukkan perbedaan tidak nyata terhadap waktu pembengkakan eksplan dan berat basah akhir kalus namun berpengaruh nyata terhadap waktu munculnya kalus.
3. Kombinasi NAA 1,0 mg/L dan BAP 1,5 mg/L memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan kalus tumbuhan sernai, baik pada waktu munculnya kalus setelah hari tanam maupun pada berat basah akhir kalus yang dihasilkan yang dihitung dalam gram.

5.2 Saran
Diharapkan adanya pengujian lanjutan kombinasi yang tepat zat pengatur tumbuh (NAA dan BAP) terhadap pertumbuhan planlet tanaman sernai (Wedelia biflora (L.) DC.).

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1983. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Penatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.

Adnan, A. Z. 1988. Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang.

Anonimous. 2007. Informasi Spesies, Seruni Laut. http://www.proseanet.org/ rohati4/browser.php?docsid=179. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L.G. Mitchell. 2002. Biologi edisi 5, jilid 2. Terjemahan dari Biologi 5th edition, oleh R. Lestari, E. I. M. Adil, N. Anita, Andri, W.F. Wibowo, W. Manulu. Erlangga. Jakarta.

Dzulkarnain. 2004. Tanaman Obat Malaria. Puslitbang Farmasi, Departemen Kesehatan R.I, Jakarta.

Gunawan, L.W. 1995. Tekhnik Kultur Invitro dalam Hortikultura. PT.Penebar Swadaya, Jakarta.

Hardiyanto, A., Solichatun dan W. Mudyantini. 2004. Pengaruh Variasi Konsentrasi Naftalen Asetat terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Flavonoid Kalus Daun Dewa (Gynura procumbens (Lour) Merr.). Biofarmasi. 2 (2): 69 – 74.

Heyne, K.1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, Jakarta.

Huang, L. 1984. Drug Research Base Upon The Leads of The Chinese Trandisional Medicine. Beijing.

Katuuk, J. R. P. 1989. Teknik Kultur Jaringan dalam Mikropropagasi Tanaman. DEPDIKBUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta.

Kristio. 2007. Tanaman Obat Indonesia. http://www.kehati.or.id/prohati/ printer.php?photoid=179. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Miles, D.H. 1990. Cotton ball weevil antifedant activity and antifungal activity (Rhizoctonia and Phytium ultimum) of extract of steam of Wedelia biflora. Journal Agriculture and food chemistry. 39 : 1691-1694.

Nugroho, A dan H. Sugito. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Pujowati dan Penny. 2006. Pengenalan Ragam Tanaman Lanskap Asteraceae (Compositae).http://www.freewebs.com/arl_ipb_2006/deskripsi/asteraceae.pdf. Diakses tanggal 26 Januari 2008.

Rahardja, P. C. 1995. Kultur Jaringan Dan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Cetakan VII. Penebar Swadaya, Jakarta.

Razali, N. 2001. Uji Aktivitas Antimikrobial Ekstrak Akar Tumbuhan Wedelia biflora Terhadap Kutu Beras (Calandra oryzae). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Rinidar. 2005. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sernai Terhadap Peradangan Akibat Reaksi Alergi. Laporan Penelitian Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan edisi IV Jilid III. Terjemahan dari Plant Physiology, oleh D. R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB, Bandung.

Sandra, E. 2000. Produksi dan Isolasi Metabolit Sekunder. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor

Sastrapradja, S., dan Y. N. Nagai. 1986. Indeks Tumbuh-tumbuhan di Indonesia. PT. Essai Indonesia.

Sunarno, B. 1992. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Herbarium Bogoriense. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahyuni. 1999. Uji bioaktif insektisida ekstrak batang tumbuhan Wedelia biflora terhadap kutu beras (Calandra oryzae). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Whetter, L. R dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi Kedua. Terjemahan dari Plant Tissue Culture Methodes 2nd Ed., oleh Mathilda B. Widianto. ITB, Bandung.

Zahara, M. 2007. Pengaruh kombinasi Naphtalene Acetic Acid (NAA) dan Benzyl Aminopurine (BAP) Pada Mikropropagasi Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi. FMIPA, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


















ltu

silase sebagai pakan ternak

Laporan Kuliah Kerja Praktek

TEKNIK PEMBUATAN DAN PEMBERIAN
SILASE SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING
DI KOPERASI AGRIBISNIS MANDIRI RUKOH
BANDA ACEH



Diajukan sebagai syarat
untuk memenuhi Kuliah Kerja Praktek



Oleh



AFNIDAR
NIM. 0481410009


















JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2008
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang ketersediaan hijauan pakan tergantung pada musim. Di musim hujan produksi hijauan melimpah, sedangkan di musim kemarau produksi hijauan terus menurun. Kekurangan hijauan pakan yang terjadi di beberapa daerah terutama saat musim kemarau, merupakan masalah yang belum teratasi secara tuntas.
Peningkatan produksi hijauan makanan ternak dibatasi oleh kecenderungan makin sempitnya lahan akibat jumlah penduduk yang terus bertambah. Serta perluasan lahan pertanian untuk tanaman pangan dan lahan pakan ternak (Hartutik, 1987).
Untuk mencukupi kebutuhan protein bagi rakyat, dimana jumlah penduduk yang terus meningkat, maka pemerintah secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan produksi dan populasi ternak, salah satu ternak yang bisa diandalkan adalah ruminansia kecil yaitu kambing. Peningkatan produktivitas dan kualitas ternak kambing harus disertai dengan upaya penyediaan pakan berkualitas dan tersedia sepanjang tahun (Mulyono, 1999).
Kambing merupakan hewan yang sangat digemari oleh masyarakat untuk diternakkan, karena ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar, perawatannya mudah, cepat berkembang biak, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu ekor, jarak antarkelahiran pendek, dan pertumbuhan anaknya cepat. Selain itu, kambing memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan kondisi agroekonomi suatu tempat. Di lingkungan-lingkungan yang paling buruk pun, kambing masih mampu bertahan hidup (Sarwono, 2007).
Pada umumnya petani-peternak kambing hanya memberikan hijauan pada pakan ternaknya, baik berupa rumput lapangan atau beberapa hijauan pakan lainnya. Perlakuan tersebut akan dapat mencukupi kebutuhan ternak kambing, ketersediaan hijauan pada musim kemarau terus menurun. Kekurangan hijauan tersebut dapat diatasi dengan cara pengawetan hijauan untuk makanan ternak, salah satu jenis makanan awetan yaitu silase ( AAK, 1993).
Proses pembuatan silase sudah umum dikenal diberbagai negara, dimana merupakan suatu teknologi pengawetan dan peningkatan kualitas hijauan (berkadar air tinggi melalui proses fermentasi dan aktifvitas mikroba). Melalui teknologi inilah hijauan yang melimpah di musim hujan dapat terpenuhi kekurangannya pada musim kemarau (Parakkasi, 1999).
Kualitas silase yang baik dapat diketahui dari keadaan fisik silase tersebut, salah satu standar penilaian kualitas silase yang baik dapat diperhatikan dari wanginya seperti buah-buahan, berasa manis dan sedikit asam, memilki warna hijau kekuningan dan apabila disentuh terasa sedikit lembut dan empuk. Apabila silase sudah memiliki cirri-ciri tersebut, maka silase tersebut sudah dapat dikatakan silase yang berkualitas baik dan layak untuk menjadi pakan ternak (Anonymous, 2008).
Tetes tebu (molasses) merupakan salah satu bahan pengawet yang dapat digunakan dalam pembuatan silase, mempunyai sifat palatabilitas tinggi untuk bahan makanan ternak yang kurang disukai atau yang berkualitas rendah. Oleh karena itu molasses rendah akan kandungan protein maka sumber protein didapat dari penambahan urea. Disini urea diharapkan dapat memperbaiki kandungan dari zat-zat makanan, karena dapat meningkatkan jumlah kandungan nitrogen yang nantinya berubah menjadi amonia (Huitema, 1986).
Kenyataan tersebut menjadi pertanda bahwa silase merupakan makanan ternak yang dapat meningkatkan kualitas pakan bagi ternak tersebut. Semula silase merupakan makanan ternak sapi perah dan potong, kini domba, kambing dan babi tidak ketinggalan untuk diberikan silase (Rismunandar, 1986).

1.2. Tujuan KKP
KKP ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan sumber pakan ternak pada saat musim kemarau dan untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik sebagai pakan ternak kambing.

1.3. Manfaat
KKP ini diharapkan nantinya bermanfaat dalam memecahkan masalah keterbatasan sumber pakan ternak kambing pada musim kemarau dengan penyediaan pakan awetan yang berkualitas baik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Koperasi Peternakan Agribisnis Mandiri
2.1.1 Sejarah singkat Koperasi Peternakan Agribisnis Mandiri
Koperasi Agribisnis Mandiri dibentuk dari cikal bakal Usaha Bersama Mandiri (UBM) yang di bentuk pada tahun 1998 dengan anggotanya terdiri dari berbagai lapisan masyarakat antara lain alumni peternakan, mahasiswa aktif dan peternak sekitar. Kegiatan-kegiatan dari Usaha Bersama Mandiri (UBM) ini semakin lama semakin berkembang bahkan sudah dapat memberikan solusi bagi peternak-peternak yang memiliki masalah dalam usaha peternakannya. Semakin berkembangnya usaha yang dilkakukan oleh UBM dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya, maka pada tahun 2001 diadakan suatu rapat yang mengghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah Koperasi Agribisnis Mandiri. Koperasi ini dibentuk dengan badan hukum Nomor 370/BH/KDK.1.9/1X/2001, tepatnya pada tanggal 24 September 2001 yang beralamat di jalan lingkar kampus, Rukoh, Darussalam kota Banda Aceh (Yaman et al., 2001).
Awalnya koperasi ini beranggotakan 30 orang dengan kegiatan usaha pembibitan unggas, perdagangan obat-obatan dan pakan unggas serta konsultan peternakan. Sarana yang dimiliki Kopearsi Agribisnis Mandiri sebelum terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami adalah pabrik pakan ternak, perkandangan jenis unggas komersial serta paralatan dan mesin tetas otomatis (Yaman et al., 2001).


2.1.2 Strutur Organisasi dan Wilayah Kerja.
Koperasi Agribisnis Mandiri telah memiliki beberapa bidang tugas. Bidang tugas tersebut untuk mengelola koperasi: 1) bidang organisasi dan manajemen permodalan, 2) bidang usaha, 3) bidang kesejahteraan, 4) bidang penyempurnaan sarana dan prasarana (Yaman et al., 2001).
Wilayah kerja Koperasi Agribisnis Mandiri sebelum gempa bumi dan tsunami meliputi daerah Darussalam, Lingke dan Aceh Besar. Daerah Darussalam merupakan tempat memproduksi bibit (pembibitan) untuk kepentingan komersial. Lingke sebagai tempat poultry shop yang menjual barang-barang keperluan untuk koperasi berupa pakan, obat-obatan, dan keperluan lainnya serta daerah Aceh Besar sebagai tempat pengambilan plasma (Yaman et al.,2001).
Masing-masing bidang memiliki koordinator lapangan, diantaranya; bidang layer komersial 6 orang, bidang pembibitan 2 orang, bidang arab komersial 4 orang dan bidang feed mill 3 orang. Pengelolaan tugas harian di Koperasi Agribisnis Mandiri dilaksanakan oleh 15 orang karyawan (Yaman et al., 2001).
2.1.3 Kesejahteraan anggota koperasi peternakan Agribisni Mandiri
Peternak-peternak yang bergabung dalam Koperasi Agribisnis Mandiri selain memberikan simpanan pokok dan simpanan wajib pada koperasi, mereka juga memberikan simpanan sosial Rp. 3000 per bulan yang digunakan untuk kebutuhan sosial bagi peternak tersebut. Selain mendapatkan bagian dari SHU, peternak-peternak anggota koperasi juga mendapatkan tunjangan lebaran tiap tahunnya yang diberikan dalam bentuk paket. Modal sendiri terdiri dari simpanan pokok dan simpanan wajib, adapun besar simpanan pokok adalah Rp. 15.000.000,- dan simpanan wajib Rp. 6.000.000,- (Yaman et al., 2001).
Tahun 2001 Koperasi Agribisnis Mandiri telah memiliki jaringan pemasaran dalam provinsi NAD yaitu Bireuen, Aceh Barat, Sabang, Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Selatan. Produk yang dihasilkan berupa daging dan telur. Konsumennya adalah rumah makan, rumah tangga dan peternak sehingga volume penjualan masih mungkin untuk ditingkatkan (Yaman et al., 2001).

2.2. Deskripsi Kambing
Dtinjau dari sejarah peternakan kambing di dunia, memang perkembangannya tidak sepesat dan selaju perkembangan domba. Meskipun demikian, kambing merupakan salah satu hewan yang paling tua berhasil dijinakkan oleh manusia.
Berbeda halnya dengan ternak domba, kambing sangat mudah menjadi liar. Selain itu kambing sangat cerdik, senang hidup secara bebas dan memiliki sifat serta kemampuan berkelahi, selain kesanggupan menjaga diri lebih besar dibandingkan dengan domba. Karena senang hidup secara bebas, maka kambing cenderung mudah menjadi liar.
Pada umumnya kambing merupakan hewan yang hidup di lereng-lereng pegunungan, bukit-bukit yang curam ataupun tempat-tempat yang curam, selain tempat yang tandus dengan sedikit ditumbuhi rumput atau tanaman (Murtidjo, 1993).
Kambing yang dikenal sekarang menurut ( Murtidjo, 1993) merupakan, hasil domestika manusia yang diturunkan dari 3 jenis kambing liar, yaitu :
1. Capra hiscus, merupakan jenis kambing liar yang berasl dari daerah sekitar perbatasan Pakistan-Turki.
2. Capar falconeri, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sepanjang Kashmir, India.
3. Capra prisca, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sepanjang Balkan..
Murtidjo (1993) mengatakan, ada beberapa kelebihan yang dapat diperoleh dari ternak kambing, antara lain:
- Cepat berkembang biak, sehingga pengembalian modal lebih cepat dibandingkan dengan ternak ruminansia lainnya.
- Daya adaptasi ternak kambing sangat baik terhadap lingkungan panas sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis huijauan pakan da membutuhkan air relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ternak lain.
- Kambing memiliki daya seleksi makanan yang lebih efektif dalam kondisi pengembalaan dibandingkan dengan ternak lain.
- Kambing lebih tahan terhadap beberapa penyakit dibandingkan dengan ternak lain.

2.3. Persiapan Kandang
Di habitat aslinya, kambing hidup di alam bebas, aktivitas makan, minum, dan beristirahat dilakukan tanpa kontrol manusia. Dalam usaha peternakan kambing perah, terlebih lagi dalam jumlah besar, kambing memerlukan perhatian yang cukup serius, sehingga perlu ditempatkan di dalam kandang. Menurut (Akhmad dan Zainal, 2002) kandang memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Melindungi kambing dari hewan-hewan pemangsa maupun hewan pengganggu.
2. Sebagai tindakan preventif agar kambing tidak merusak tanaman dan fasilitas lain di lokasi peternakan, serta menghindari terkonsumsinya pakan yang berbahaya bagi kehidupan kambing.
3. Tempat berteduh dari panas matahari dan hujan, serta sebagai tempat untuk beristirahat pada siang hari dan tidur pada malam hari.
4. Mempermudah peternak melakukan kontrol atau pengawasan terhadap kesehatan kambing.
5. Tempat makan, minum, dan melakukan aktivitas lain bagi kambing.
6. Kotoran kambing lebih mudah dikumpulkan untuk pengolahan atau pemakaian lebih lanjut.
7. Kambing-kambing tidak mudah hilang atau terpisah dari kawanannya.
8. Membatasi gerak kambing yang banyak menyita energi, seperti aktivitas berlari. Dengan pembatasan gerak ini, diharapkan seluruh energi yang dihasilkan dari pakan yang dikonsumsi diubah menjadi susu.
9. Memberikan kondisi iklim mikro yang sesuai dengan kebutuhan kambing, sehingga mampu mencapai tingkat produksi optimal.
Menurut Davendra dan Burn (1994), ada dua tipe kandang yang umum dipakai didaerah tropis. Tipe kandang yang pertama adalah tipe kandang pada tanah, yang umum digunakan disebagian besar daerah tropis, kecuali timur jauh. Kandang tipe ini sering kali menempel pada bangunan lain. Tinggi bangunannya kurang lebih 2 - 3 meter, bagian belakangnya miring menjadi 1 - 1,5 meter. Tipe kandang lain adalah kandang panggung, yang sangat praktis untuk daerah yang sangat lembab, dengan curah hujan yang tinggi. Sehingga kambing dapat dilindungi dari hujan. Lantai kandangnya ditinggikan kurang lebih 1-1,5 meter diatas permukaan tanah. Hal ini untuk memudahkan dalam membersihkan dan mengumpulkan kotoran serta kencing ternak. Bangunannya sering kali dibuat dari bambu dan beratapakan ilalang. Di bawah kandang sering kali diletakkan bara api, selama musim hujan yang lembab untuk manghangatkan kambing.

2.4. Pakan Ternak Kambing
Pakan adalah suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh kambing untuk tumbuh dan berkembang biak. Hanya pakan sempurna yang mampu mengembangkan pekerjaan sel tubuh. Pakan yang sempurna mengandung kelengkapan protein, karbohidrat, lemak, air, vitamin dan mineral (Soedjono, 1987).
Dari sudut nutrisi makanan bagi ternak kambing merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksinya. Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup melaksanakan fungsi proses di dalam tubuh secara normal. Dalam batas minimal, makanan bagi ternak kambing berguna untuk menjaga keseimbangan jaringan tubuh dan membuat energi, sehingga mampu melakukan peran dan metabolisme (Murtidjo, 1993).
Kebanyakan makanan ternak ruminansia kecil (kambing), dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, secara garis besarnya hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak pada bahan keringnya, sedangkan konsentrat mengandung serat kasar yang sedikit dan banyak mengandung karbohidrat, protein dan lemak yang relatif banyak, tetapi jumlahnya bervariasi dengan jumlah kadar air yang relatif sedikit (Sarwono, 2007).
Kambing membutuhkan hijauan yang banyak ragamnya, terutama daun-daunan dan rumput-rumputan. Selain itu kambing juga menyukai limbah dapur (kulit pisang, sisa-sisa sayuran dan ampas kelapa segar), limbah pertanian (daun singkong, batang, daun ubi jalar, jerami kacang tanah dan kedelai), limbah industri (dedak padi, dedak jagung, ampas tahu, bungkil kelapa dan bungkil kedelai), (Soedomo et al., 1986).
Konsentrat makanan penguat yang terdiri dari bahan baku kaya karbohidrat dan protein, seperti jagung kuning, bekatul, dedak, gandum dan bungkil-bungkilan. Untuk kambing umumnya disebut makanan yang memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18% dan mudah dicerna (Mulyono, 1999).

2.5. Kosentrat
Selain pakan dalam bentuk hijauan, kambing juga memerlukan pakan penguat untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Pakan penguat dapat terdiri dari satu macam bahan saja seperti dedak bekatul padi, jagung, atau ampas tahu . Kosentrat alias pakan penguat tidak boleh diberikan terlalu banyak, sebaiknya pemberian pakan penguat tersebut tidak sekaligus, malainkan diselingi dengan pemberian hijauan, Sebelum diberi kosentrat, terlebih dahulu kambing diberi pakan hijauan (Sarwono, 2007).
Dedak padi merupakan penyusun utama dari kosentrat, karena dedak padi memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, begitu juga dengan kandungan vitamin dan mineralnya (Anggorodi, 1984). Protein dedak padi disebut oryzein yang mempunyai nilai gizi yang tinggi yaitu mengandung asan amino esensial yang lengkap (Hartutik, 1987).
Maka penambahan dedak padi akan meningkatkan protein dan mineral bahan pakan akan meningkatkan daya cerna dan sejumlah unsur mineral esensial untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen sangat dibutuhkan untuk pencernaan sellulosa dalam jumlah yang lebih banyak (Anggorodi, 1984).

2.6. Fermentasi Bahan Pakan
Menurut (Hidayat dan Darajat, 1983) fermentasi merupakan proses perubahan kimia dalam substrat organik oleh adanya biokatalisator yaitu enzim yang dihasilkan oleh jenis mikroba tertentu. Proses fermentasi dapat merombak selulosa menjadi 2 molekul glukosa yang berhubungan satu dengan yang lainnya pada posisi β 1,4, zat tersebut adalah β-glukosida yang dihidrolisa menjadi glukosa oleh enzim β-glukopsida. Dengan dirombaknya selulosa yang merupakan salah satu komponen serat kasar, maka kandungan serat menurun (Anggorodi, 1984).
Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan atau katalis terhadap senyawa-senyawa organik (Rahman, 1989). Disebutkan juga bahwa perantaraan atau dengan melibatkan mikroorganisme. Fermentasi timbul sebagai hasil metabolisme penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai (Winarno dan Farziah, 1980).
Pada ruminansia protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen di dalam kondisi alami, dan membantu percernaan zat-zat makanan dari rumput-rumput yang kaya akan serat kasar. Protozoa ini bersifat anaerob. Apabila kadar oksigen atau pH isi rumen itu tinggi, maka protozoa ini tidak dapat membentuk cyste untuk mempertahankan diri dari linkungan yang jelek, sehingga dengan cepat akan mati. Protozoa menelan bakteri dan hidup dari bakteri ini, bersamaan dengan itu memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta rumen (Murwani, 1989).
Tujuan perlakuan fermentasi adalah memecah ikatan kompleks lignin selulosa dan meningkatkan kandungan selulosa yang dipecahkan oleh enzim selulosa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Basuki dan Wiryoasamita, 1988). Mikroba yang bersifat fermentatif dapat mengubah karbohidrat dan turunannya terutama menjadi alkohol, asam dan CO2 (Winarno dan Fardiaz, 1980).

2.7. Silase
Silase adalah hijauan makanan ternak yang disimpan dalam keadaan segar dengan kadar air 60-70 %, didalam suatu tempat yang disebut silo, karena hijauan yang baru dipotong kadar airnya sekitar 75-80 %, untuk memperoleh silase yang baik maka tersebut dilayukan terlebih dahulu 2-4 jam atau diangin-anginkan, sedangkan silo adalah tempat penyimpanan makanan (hijauan), baik yang dibuat dalam tanah maupun diatas tanah (AAK, 1993).
Hijauan yang dimasukkan ke dalam silo pada dasarnya sel-sel sebagian besar masih hidup. Pencernaan dalam tubuh sel-sel tersebut masih berjalan (respirasi), dengan memanfaatkan zat-zat oksigen yang berada di dalam rongga-rongga timbunan., proses respirasi ini akan cepat berhenti bila timbunan cukup padat dan sebaliknya, proses respirasi ini dinamakan proses aerob (Rismunandar, 1986).
Bahan makanan ternak berupa hijauan, merupakan bahan makanan utama bagi ternak, baik ruminansia besar maupun kecil. Di indonesia pakan dapat berasal dari jenis rumput-rumputan dan kacang-kacangan leguminosa, serta hijau-hijauan lain (Sastroamidjoyo et al., 1978). Hijauan merupakan pakan utama bagi ternak ruminansia, jumlah ternak ruminansia yang terus bertambah tentu membutuhkan hijauan yang mencukupi sepanjang tahun. Namun, ketersediaan pakan tersebut mengalami hambatan, bukan saja sumbernya yang terbatas tetapi juga terpengaruh oleh perbedaan musim (Basya, 1981).
Produksi hijauan pakan ternak sering tidak stabil dimana pada musim kering terjadi penurunan produksi hijauan sehingga penyediaan pakan ternak berkurang. Sebaliknya pada musim hujan produksi hijauan pakan terknak meningkat tajam, sehingga persediaannya melimpah. Untuk mengatasi fluktuasi (naik turun) produksi tersebut dilakukan usaha-usaha penerapan, sistem pengaturan, penyimpanan dan pengwetan secara baik. Pembuatan silase merupakan salah satu cara menanggulangi kekurangan persediaan pakan hijauan bagi ternak ruminansia, terutama pada musim kemarau (Asril et al., 2000).

2.8. Molasses Sebagai Bahan Pengawet
Pada pembuatan silase perlu ditambahkan pengawet, agar terbentuk suasana keasaman dengan derajat keasaman (pH) optimal, bahan pengawet yang digunakan adalah molasses atau tetes (Basya, 1981). Molasses adalah produk atau hasil sampingan pembuatan gula pasir dari tebu dan mempunyai sifat menyedapkan bahan makanan lain yang kurang enak dimakan, kadar gula yang terkandung dalam molasses kira-kira 55 % yang merupakan sifat khusus dari bahan makanan ini (Parakkasi, 1985).
Ranjhan (1981) menyatakan, tetes tebu merupakan hasil sampingan dari industri gula yang sangat penting, ia mengandung 50% gula, produksi tetes berada dibawah produksi gula tebu. Komposisi diperkirakan terdiri dari air 20,6 % kadar gula 60,80 % protein kasar 3,2 %, larutan garam 2,2 % da abu 8,2 %. Kombinasi asam bebas 5,0 % tetes tebu dapat dipergunakan dalam pakan ternak 5-10 %.
Di Indonesia tetes tebu sebagai limbah pabrik gula tebu banyak terdapat dan sebagian kecil yang dipergunakan sebagai campuran pakan ternak. Tetes tebu mudah didapat dan harganya relatif murah (Basri, 1987).

2.9. Penggunaan Urea dalam Pakan Ternak
Urea adalah salah satu sumber Non Protein Nitrogen (NPN) yang mengandung 41-45 % N. Disamping itu penggunaan urea dapat meningkatkan nilai gizi makanan dari bahan yang berserat tinggi serta berkemampuan untuk merenggangkan ikatan kristal molekul selulosa sehingga memudahkan mikroba rumen memecahkannya (Basya, 1981).
van Soest (1982), menyatakan pemakaian urea sebagai sumber amonia pada rumput gajah yang berfungsi untuk menghidrolisis ikatan lignoselulosa, dan menghancurkan lignohemiselulosa, melarutkan silika, mengembangkan serat selulosa sehingga memudahkan enzim selulosa bekerja.
Penggunaan Non Protein Nitrogen (NPN) pada makanan sapi potong dalam batas tertentu, seperti penggunaan urea, cukup membantu ternak untuk lebih mudah pembentukan asam asetat. Urea mempunyai kandungan nitrogen (N) kurang lebih 45 %. Karena nitrogen mewakili 16 % dari protein atau bila dijabarkan protein setara dengan 5,25 kali kandungan nitrogen, maka ternak kambing rata-rata diberi 5 gram/ekor/hari akan sebanding dengan 19,63 gram protein kasar (Murtidjo, 1993).
Sebagai pakan tambahan urea sering dipergunakan sebagai ransum ternak sapi, dimana nitrogen dengan bantuan mikroba dalam rumen dapat disintesa menjadi zat protein yang bermanfaat. Namun perlu diingat, bahwa dalam pemberian urea dapat menimbulkan masalah dimana terlalu terbentuk amoniak (NH3) di dalam rumen yang dapat menyebabkan keracunan dan penggunaan makanan tidak efisien (Soegiri et al, 1981). Apabila pembentukan NH3 lebih lambat, maka NH3 didalam rumen tersebut dapat dipergunakan untuk pembentukan protein bakteri secara efisien (Anggorodi, 1980). Amonia yang terbentuk digunakan oleh bakteri rumen untuk pertumbuhan apabila ternak diberikan pakan sumber C atau (energi) yang tinggi (Maynard et al., 1979).

2.10. Konsumsi Ransum
Konsumsi diperhitungkan oleh jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1989).
Konsumsi sangat dipengaruhi oleh palatabilitas yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan (Church dan Pond, 1988). Hal ini sama dengan pendapat Anggorodi (1980) menyatakan bahwa jumlah makanan yang dikonsumsikan berhubungan erat dengan palatabilitas dan laju bahan makanan di dalam alat pencernaan, makin banyak pula ruangan yang tersedia untuk penambahan bahan makanan.
Menurut Colle dan Ronning (1970) tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas suatu komposisi kimia makanan, fermentasi dalam rumen pergerakan makanan dalam saluran pencernaan serta status fisiologi ternak. Daya cerna diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan sehingga dapat meningkatkan konsumsi (Tillman dkk., 1989).

BAB III
METODE KERJA

3.1 Tempat dan Waktu
Kuliah Kerja Praktek ini dilakukan di Koperasi Peternakan Agribisnis Mandiri bertempat di jln. Lingkar Rukoh Darussalam Kota Banda Aceh yang dilaksanakan sejak tanggal 26 Maret hingga 27 April 2008.

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam Kuliah Kerja Praktek ini adalah sabit, Parang, timbangan (shalter), karung beras, tali, cangkul, timba air. Bahan yang digunakan dalam Kuliah Kerja Praktek ini adalah: Rumput gajah, molasses/tetes tebu, urea, dedak padi dan air.

3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Persiapan Silase
Silase yang akan diberikan pada ternak dibuat dari rumput gajah yang telah dilayukan (dikering anginkan) selama satu hari, kemudian di cacah-cacah ( ±3-5 cm). Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase ini adalah molasses/tetes tebu 3 % dengan campuran urea dedak padi halus. Kemudian dimasukkan dalam plastik dengan diinjak-injak dan kemudian disimpan selama 10 hari.

3.3.2 Sanitasi Kandang
Sanitasi kandang meliputi pmbersihan kandang, tempat pakan dan tempat minum. Pembersihan kandang dilakukan tiga kali sehari yaitu setiap pagi pukul 08.00 WIB, siang pukul 14.00 WIB dan sore pukul 17.00 WIB dengan menyiram semua kandang dengan air dan dibersihkan dengan sapu.
3.3.3 Formulasi Pakan
Formulasi pakan berdasarkan kebutuhan hidup pokok ruminansia kecil yaitu 3 % bahan kering dari berat hidup ternak tersebut. Konsentrat yang diberikan merupakan campuran dari beberapa bahan yang diberikan dalam bentuk kering. Kosentrat tersebut terdiri dari dedak halus, 524 Hay provite, garam dapur dan ultra mineral. Sedangkan hijauan terdiri dari rumput lapangan, rumput gajah dan silase. Hijauan segar ini dicacah terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak.
3.3.4 Pemberian pakan
Pemberian kosentrat dilakukan tiga hari sekali yaitu pada pagi hari yaitu pukul 08.00 WIB, siang pukul 14.00 WIB dan sore pukul 17.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan dengan mencampurkan kosentrat dengan hijauan.
3.3.5 Penimbangan Kambing
Penimbangan kambing dilakukan pada tanggal 02 April 2008 dan 27 April 2008. Penimbangan dengan menggunakan timbangan shalter dan kemudian diamati pertambahan berat badannya.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persiapan Silase
Produksi hijauan di kebun baik itu rumput gajah atau rumput raja bila melebihi atau melewati umur potong akan mengurangi kualitas hijauan tersebut, untuk mengoptimalkan produksi dan menjaga kualitas, pemotongan dilakukan harus tepat waktu. Umur potong rumput harus optimal pada 7 minggu atau 50 hari. Namun rumput yang akan dibuat silase ini telah berumur 12 minggu atau sekitar 89 hari. Dengan luas lahan per bedeng yaitu 55 m2, dan panjang rata-rata rumput yaitu 2,5 m, Jumlah keseluruhan rumput per bedeng yaitu sebanyak 343 kg. Bila produksi rumput berlebih dan akan dibuat silase untuk perlu pengurangan kadar air rumput dengan cara disimpan berdiri jangan ditidurkan atau ditumpuk untuk menghindarkan dari kerusakan selama 2-3 hari, dan harus disimpan terlindung atau dibawah atap (Anonymous, 2008).
Setelah disimpan selama 2 – 3 hari dan kandungan air berkurang rumput tersebut dicacah dengan panjang cacahan 3-5 cm. Jumlah rumput setelah di cacah dan akan di buat silase yaitu sebannyak 116 kg.
Untuk pembuatan silase diperlukan dedak murni sebanyak 10% dari jumlah rumput yang akan di buat silase untuk bahan starter dalam pembuatan silase rumput raja dan rumput gajah, kualitas dedak ini dapat menentukan baik tidaknya kualitas silase yang akan dihasilkan. Dicampurkan dedak, molasses sebanyak 3 % dan sedikit urea, fungsi urea dalam pembuatan silase yaitu untuk mengikat nitrogen dalam proses pembuatan silase tersebut lalu cacahan rumput tersebut diaduk secara merata.
Hasil percampuran dimasukkan dalam silo yang telah dilapisi dengan plastik. Dipadatkan bahan silase dengan cara ditekan atau diinjak-injak, hal ini dilakukan supaya tidak ada ruang diantara potongan rumput yang berarti tidak ada tempat bagi oksigen. Pencampuran rumput dan dedak harus benar-benar merata agar kualitas silase yang dihasilkan baik (Rismunandar, 1986).
Setelah dipadatkan dan ditekan dengan baik, ikat plastik dengan kuat agar tidak ada udara yang masuk, karena proses fermentasi silase harus dalam keadaan an-aerob (tidak ada oksigen). Beri beban diatasnya agar terdapat tekanan ke bawah sehingga kondisi an-aerob terjadi dengan baik.
Setelah 9 hari silase tersebut dibuka, ternyata menghasilkan silase yang sangat bagus. Ciri-ciri silase yang layak untuk dijadikan pakan ternak yaitu memiliki wangi seperti buah-buahan dan sedikit asam, bewarna hijau agak kekuningan dan bebas dari cendawan lainnya atau jamur. Diberikan kepada Kambing atau ternak ruminasia lainnya, jika tidak suka coba dicampur dahulu dengan rumput yang biasa dikonsumsi atau dapat ditambah sedikit molasses, agar terasa wangi dan rasa yang manis sehingga disukai ternak (palatable), setelah kambing menyukai dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.
Kualitas silase dapat dilihat dengan dua cara, yaitu : (1) Kualitas fermentasi dengan kehilangan nutrisi pakan yang sedikit dan aman untuk dijadikan pakan ternak, dan , (2) Nilai pakan.
Untuk mendapatkan silase dengan kualitas hasil fermentasi yang tinggi maka penting mengetahui dasar pembuatan fermentasi silase dengan baik. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kualitas fermentasi silase dan setiap faktor saling berhubungan satu sama lain. Faktor utama yaitu : (1) Udara dalam silo, (2) Kandungan gula dalam bahan, (3) Kandungan air pada bahan, (4) Panjang pemotongan bahan, dan (5) suhu penyimpanan.(Anonymous, 2008).

4.2 Kandang
4.2.1 Kandang
Kandang mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan kambing. Menurut Davendra dan Burn (1994), ada dua tipe kandang yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu tipe kandang panggung dan tipe kandang lantai diatas tanah. Kandang yang digunakan di peternakan ini adalah tipe kandang panggung (kandang individu) yang terbuat dari besi dan mempunyai alas yang terbuat dari kayu dengan lebarnya 1,5 cm. Celah-celah pada lantai ini dapat memudahkan jatuhnya feses dan urine ke bawah sehingga alas kandang tidak kotor.
Kandang yang digunakan pada peternakan ini mempunyai ukuran 50 x 120 cm dan tingginya 80 cm. Sedangkan tinggi kandang dengan lantai adalah 70 cm. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam membersihkan kandang. Kandang juga dilengkapi dengan tempat pakan, timba dengan ukuran 3 liter sebagai tempat minum, pintu kandang yang terbuat dari kayu serta tangga untuk memudahkan kambing naik turun tangga.
4.2.2 Sanitasi Kandang
Pembersihan kandang ternak dilakukan setipa harinya yaitu mulai dari jam 08.00 WIB, jam 14.00 WIB dan jam 17.00 WIB dengan menyirami semua lantai kandang dengan air. Semua kotoran yang jatuh di lantai disiram dan disapu dalam selokan yang berada dekat kandang hingga terbuang keluar dari kandang. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebersihan kandang dan mencegah ternak dari berbagai macam pemyakit.
Kandang juga agar tetap bersih agar bebas dari jamur, bakteri-bakteri dan parasit-parasit yang dapat mengganggu ternak itu sendiri. Tempat pakan ternak juga harus dijaga kebersihannya, semua makanan yang sisa harus dibuang sebelum ditambahkan dengan pakan yang baru. Biasanya ternak tidak suka memakan makanan sisa walaupun sudah ditambahkan dengan pakan yang baru. Selain tempat pakan, tempat minum juga perlu diperhatikan kebersihannya. Biasanya tempat minum dibersihkan dua kali sehari. Sebelum ditambahkan dengan air minum yang baru tempat minum juga dilap dengan menggunakan kain basah yang bersih. Agar air minum ternak tetap dalam keadaan bersih. Hal ini sangat penting untuk proses metabolisme pada tubuh ternak.

4.3 Formulasi Pakan
Pakan merupakan faktor penting bagi pertumbuhan ternak, setiap pakan yang diberikan harus memenuhi kandungan gizi yang cukup. Ternak mengkonsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas pakan, kecernaan, perubahan bentuk fisik dan karakteristik serta komposisi kandungan bahan kimia, serta ukuran partikel pakan dalam lambung akan mempengaruhi buffering capacity sehingga mempengaruhi fermentasi dalam lambung, pengaruhb kerja enzim pencernaan dan metabolisme oleh mikroba rumen (van Soest, 1982). Komposisi kimia suatu ransum sangat bervariasi sesuai dengan pakan yang digunakan untuk menyusun ransum akan berbeda pula tingkat konsumsinya.
Konsumsi pakan perlu diamati karena pada bahan keringnya mengandung kabohidrat, lipida, protein, vitamin dan mineral. Bahan-bahan tersebut sangat diperlukan oleh ternak untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi (Tillman et al., 1989).

4.4 Pemberian Pakan
Pemberian pakan ternak harus berdasarkan pada cara penyiapan paka, formulasin pakan dan pemberian pakan. Pakan yang diberikan pada ternak harus teratur yang diuberikan setiap 3 kali sehari.
Pakan yang diberikan pada ternak diletakkan pada tempat pakan sehingga ternak lebih mudah mengkonsumsi pakan tersebut. Ternak kambing merupakan hewan ruminansia kecil yang banyak mengkonsumsi rumput dan daun-daunan segar, sehingga ternak ini hanya membutuhkan sedikit minum. Karena kebutuhan kambing akan air sudah terpenuhi oleh kandungan air yang berasal dari rumput dan daun-daunan yang dikonsumsi.
Teknis pemberian pakan yaitu dengan memberikan kosentrat terlebih dahulu, kosentrat diberikan sebabyak tiga kali sehari. Jumlah kosentrat yang diberikan berdasarkan kebutuhan ternak. Pemberian kosentrat bertujuan untuk meningkatkan produksi massa mikroba dalm rumen. Selain itu juga meningkatkan enzim selulosa yang dapat mencerna pakan yang dikonsumsi oleh kambing.
Silase dan pakan hijauan diberikan berdasarkan pemberian kosentrat, hijuan tersebut diberikan diiringan dengan pemberian kosentrat, karena pemberian kosentrat dengan hijauan selalu dalam waktu yang bersamaan. Jumlah pakan hijauan diberikan pada ternak berdasarkan kebutuhan ternak, karena pemberian pakan yang berlebihan akan terbuang percuma.

4.5 Penimbangan Ternak
Penimbangan ternak yang diulakukan harus pada waktu dan kondisi yang sama pada setiap periodenya. Penimbangan ternakdilakukan dengan menggunakan shalter yang digantung, dan ternak dimasukkan dalam karung yang berukuran 50 kg, dan karung tersebut digantungkan pada shalter. Penimbangan dilakukan sebelum pemberian pakan/ dalam keadaan lambung kosong. Hal ini dilakukan agar data berat ternak antar periode berasal dari kondisi ternak yang sama.
Pertambahan berat badan setiap ternak berbeda-beda, hal ini berdasarkan jumlah pakan yang dikonsumsi. Ternak yang mengkonsumsi pakan yang lebih banyak, pertumbuhannya (pertambahan berat badan) lebih tinggi dengan ternak yang mengkonsumsi pakan sedikit (Tillman el al., 1989). Dalam ransum terdapat berat badan teernak akan meningkat, selain dari jumlah protein yang dikonsumsi, palatabilitas ransum dapat juga mempengaruhi pertambahan berat badan (NRC, 1975).
Kandungan karbohidart, energi dan mineral yang cukup dalam ransum dapat memacu pertumbuhan mikroba dalam rumen yang mengakibatkan ternak lebih mampu mencerna serat kasar, dimana hijauan berserat kasar rendah lebih mudah dicerna, secara fisiologi ternak akan menambah konsumsi ransumnya, maka pemberian ransum mengandung karbohidrat, energi, mineral yang cukup kemungkinan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi lebih tersedia (Musofie et al.,1989).
Selama dalam masa pemeliharaan, penambahan berat badan kambing tidak memperlihatkan perubahan yang berarti, hal ini juga diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang tidak stabil, sehingga ketika terjadi penurunan suhu ternak banyak menggunakan energinya untuk menghangatkan tubuhnya, sehingga konsumsi pakan yang dibituhkan ternak hanya sedikit dan akan mengakibatkan penurunan bobot badan. Selain itu juga ada kambing yang mengalami stress akibat proses adaptasi individu ternak yang kurang baik dengan kondisi kandang baru, sehingga membuat konsumsi pakannya terganggu dan menyebabkan penurunan berat badan pada ternak tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Hasil penimbangan berat badan kambing pada tanggal 02 dan 27 April 2008

Ternak BBawal (KgBH)/
02-04-2008 BBakhir (KgBh)/
27-04-2008 PBB (KgBH)
Kambing 1 19 23,5 4,5
Kambing 2 20 22,3 2,3
Kambing 3 25 25 0
Kambing 4 20 20,5 0,5
Kambing 5 18 22 3
Kambing 6 26 28 2
Kambing 7 20 20,5 0,5
Kambing 8 18 20 2
Kambing 9 20 24 4
Kambing 10 20 23,5 3,5
Keterangan :
BB : Berat Badan
PBB : Pertambahan Berat Badan


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari Kuliah Kerja Praktek ini yaitu sebagai berikut :
1. Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang diproduksi atau dibuat dari tanaman yang dicacah, pakan hijauan, limbah dari industri pertanian dan lain-lain dengan kandungan air pada tingkat tertentu yang diisikan dalam sebuah silo.
2. Pakan yang diberikan kepada ternak kambing yaitu berupa pakan kosentrat pakan hijauan (baik berupa rumput segar maupun daun-daunan), dan silase.
3. Pertambahan berat badan pada ternak kambing dapat berbeda-beda, hal ini besdasarkan jumlah banyak sedikitnya pakan yang dikonsumsi ternak.

5.2 Saran
Dari hasil Kuliah Kerja Praktek yang telah dilakukan disarankan kepada para peternak, harus mengetahui cara pembuatan silase yang benar dan dapat mendapatkan kualitas silase yang baik, sehingga pada musim kemarau yang berkepanjangan kebutuhan akan hijauan dapat terpenuhi.